Untuk yang Pernah Datang dan Menghilang

Awalnya aku memutuskan untuk mencintaimu. Sampai cinta itu lahir dan berkembang. Aku juga tidak tahu mengapa aku seperti itu. Aku menatapmu tanpa alasan, tanpa pandangan. Selain cinta. Cinta itu semakin saja mengajakku lebih dekat. Dan aku berjalan menyebrang sawuh, duri duri menampakkan ujungnya sendiri. Sebelum kusentuh dan berdarah. Tapi darah itu penuh makna, nikmat yang paling luka. Bahkan aku gagal paham dengan logika.
Aku menangis. Kau bilang cengeng, sambil tertawa. Rindu dan luka. Dua usia yang sulit aku jelaskan. Tapi apa boleh buat, dalam sebenam mentari dan sehening embun pagi kau tetap bersemayam di dalamnya. Di hati yang terdalam. Sampai perlahan sarafku menaik, mengingat dan istilah lain yang gagal dalam bahasa. Air mataku tak hendak mengalir. Tetap saja bayangmu memompa hingga sumber penghabisan: sebuah keadaan yang tak dicerna manusia.
Diam. Sepi. Aku menuntutmu menjadi matahari. Datanglah di hari esok setelah garis mimpiku selesai aku lukis. Tentangmu, dan cinta yang tak pernah usai. Kita pernah sama sama ke pantai, bukan? Saat itu kita sama sama takut keluar, memandang ombak dengan mata berdua. Satu dalam keinginan, tapi jauh dalam kesepakatan. Kau tak pernah sepakat tentang pasir yang indah dipandang, tapi enggan digenggam. Kau lebih milih bungkam. Sedangkan aku mengintipmu dari dalam, dari liuk perasaan yang kian jauh: imajinasi yang ingin sampai.
Datanglah. Sekalipun aku tidak memaksamu. Karena yang kuingin adalah ketulusan. Bukan menjauh meninggalkan kenangan. Sementara aku hampa dirundung duka. Tangan teriris. Satu persatu ditelan waktu. Sudah kuhitung sekian kalender. Tapi dia tak berpihak padaku. Aku jatuh. Aku rapuh. Jiwaku lebur dalam laut. Dalam darah yang tak hendak mengalir. Selain kenangan tentangmu yang mematikanku. Membuatku lupa dalam luka. Luka dalam masa. Bahkan aku lupa, sejak kapan aku dicipta sebelum kembali memeluk engkau.
Rika. Orang bilang aku gila. Sebagai penyair yang suka menyulam rasa. Aku tak hendak memecah nurani. Aku tak hendak membunuh saraf sendiri. Hanya karena saraf orang lain, juga dirimu yang menitip kenangan. Masih terbayang senyummu di akhir perjalanan, bahwa engkau bangga denganku yang lugu. Yang menuruti semua inginmu. Tapi kali ini semua berakhir. Kau tak inginkan seauatu dariku lagi.
Semenjak kau tahu, bahwa hubungan kita harus selesai!

1 Response to "Untuk yang Pernah Datang dan Menghilang"